Tangis Bos dan Karyawan Sritex: Puluhan Tahun Mengabdi, Telah Berakhir Kini
Pesankata.com, Jakarta – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia, resmi dinyatakan pailit pada 1 Maret 2025. Keputusan ini berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ribuan pekerja yang selama ini bergantung pada perusahaan tersebut. Ribuan buruh kini menghadapi ketidakpastian ekonomi, terutama karena kepastian pembayaran pesangon dan hak-hak mereka masih belum jelas.
Dampak PHK Massal dan Jumlah Karyawan yang Terkena Imbas
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 10.665 pekerja dari berbagai unit usaha di bawah Sritex Group terkena dampak langsung dari kebangkrutan ini. PHK terbesar terjadi di pabrik utama Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang memberhentikan sekitar 8.504 buruh. Selain itu, PHK juga terjadi di beberapa anak usaha Sritex, termasuk PT Primayudha Mandirijaya di Boyolali yang memecat 956 karyawan, PT Sinar Panja Jaya di Semarang yang memutuskan kontrak 40 pekerja, serta PT Bitratex Semarang yang memberhentikan 104 orang.
Seorang buruh yang telah bekerja di Sritex selama lebih dari dua dekade mengaku merasa kehilangan dan sedih atas keputusan ini. “Saya sudah bekerja selama 25 tahun di sini. Ini bukan sekadar pekerjaan, tapi rumah bagi kami. Saya tidak tahu harus bagaimana setelah ini,” ujar seorang mantan pekerja yang enggan disebutkan namanya.
Pemerintah dan Serikat Buruh Desak Pembayaran Hak Pekerja
PHK massal ini tidak hanya berdampak pada para pekerja, tetapi juga menimbulkan keprihatinan di kalangan pemerintah dan serikat buruh. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Tengah, Ahmad Aziz, menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya memastikan hak-hak buruh terpenuhi, termasuk pesangon, tunjangan hari raya (THR), dan hak lainnya.
“Proses pembayaran hak-hak pekerja masih menunggu keputusan dari kurator. Kami berharap dana yang tersedia cukup untuk memenuhi kewajiban terhadap pekerja yang terdampak,” jelas Ahmad.
Sementara itu, serikat buruh menekan pemerintah untuk lebih aktif dalam melindungi nasib para pekerja yang kehilangan pekerjaan secara tiba-tiba. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan beberapa organisasi buruh lainnya bahkan mendesak adanya audit lebih lanjut terkait pengelolaan keuangan perusahaan sebelum kebangkrutan diumumkan.
“Kami ingin memastikan apakah ada kelalaian dalam manajemen atau justru praktik korupsi yang membuat Sritex akhirnya bangkrut. Para buruh tidak seharusnya menjadi korban dari kesalahan yang dilakukan oleh pihak manajemen,” kata Rudi Hartono, perwakilan serikat buruh.
Peluang Pekerjaan Baru dan Langkah Antisipasi Pemerintah
Menanggapi lonjakan jumlah pengangguran akibat PHK massal ini, pemerintah daerah Sukoharjo dan Boyolali mengupayakan program penempatan tenaga kerja ke perusahaan-perusahaan lain yang masih membutuhkan tenaga kerja terampil di sektor tekstil dan garmen.
“Sejumlah perusahaan di sekitar Sukoharjo dan Boyolali sudah menyatakan siap menampung sebagian pekerja yang terkena PHK. Kami juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan agar mereka bisa mendapatkan pelatihan keterampilan baru,” ujar Ahmad Aziz.
Namun, tidak semua mantan pekerja Sritex bisa langsung mendapatkan pekerjaan baru. Banyak di antara mereka yang mengaku masih bingung dengan langkah selanjutnya. Seorang pekerja perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai operator mesin jahit mengatakan bahwa dia masih mencari peluang pekerjaan lain. “Kami butuh kepastian, bukan hanya janji. Sampai saat ini kami belum tahu ke mana harus melamar pekerjaan baru,” tuturnya.
Masa Depan Industri Tekstil di Indonesia
Kebangkrutan Sritex juga memunculkan kekhawatiran akan masa depan industri tekstil di Indonesia. Sejumlah analis menilai bahwa sektor tekstil dalam negeri tengah menghadapi tekanan berat akibat persaingan global, kebijakan impor, serta naiknya biaya produksi.
“Sritex adalah salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara. Jika mereka bisa bangkrut, ini menjadi sinyal bahwa industri tekstil Indonesia sedang dalam masalah serius,” ungkap Arief Budiman, ekonom dari Universitas Indonesia.
Arief menambahkan bahwa pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk melindungi industri ini, termasuk dengan memberikan stimulus bagi perusahaan yang masih beroperasi agar tidak mengalami nasib serupa dengan Sritex.
Hingga kini, pihak manajemen Sritex masih belum memberikan tanggapan resmi terkait nasib para pekerja yang di-PHK maupun kepastian pembayaran pesangon mereka. Keputusan pengadilan terkait pembagian aset perusahaan untuk membayar utang dan kewajiban lainnya masih dalam proses, sementara ribuan buruh yang kehilangan pekerjaan terus berharap adanya solusi yang adil bagi mereka.
Dengan dampak sosial dan ekonomi yang cukup besar akibat PHK massal ini, semua pihak kini menunggu langkah-langkah konkret dari pemerintah dan manajemen Sritex dalam menyelesaikan permasalahan yang tengah berlangsung.





