Pesankata.com, Jakarta – Gangguan Kepribadian Narsistik atau Narcissistic Personality Disorder (NPD) menjadi sorotan baru dalam diskusi kesehatan mental, terutama karena kerap kali tak dikenali dan tertutup oleh kesan awal yang memikat. Di balik pribadi yang terlihat percaya diri, kompeten, bahkan memesona, banyak penderita NPD yang menyimpan pergulatan batin yang dalam.
NPD adalah salah satu jenis gangguan kepribadian yang ditandai dengan pola pikir, perasaan, dan perilaku yang berpusat pada diri sendiri secara berlebihan, serta minimnya empati terhadap orang lain. Gangguan ini biasanya mulai muncul pada masa remaja akhir atau dewasa muda, dan cenderung menetap jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
“Penderita NPD cenderung merasa superior secara berlebihan dan memiliki ekspektasi yang tinggi untuk dikagumi. Namun mereka juga sangat sensitif terhadap kritik dan bisa meresponsnya secara agresif atau defensif,” ungkap dr. Lutfia Maharsi, Sp.KJ, psikiater dari RS Jiwa Soeharto Heerdjan, saat ditemui dalam Forum Edukasi Kesehatan Mental di Jakarta, Rabu (23/4/2025).
Ketidakseimbangan Emosional dalam Hubungan Sosial
Penderita NPD kerap kali kesulitan mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat. Di awal perkenalan, mereka bisa tampak hangat dan mempesona. Namun seiring waktu, relasi menjadi tidak seimbang karena mereka mengharapkan perlakuan istimewa secara terus-menerus dan enggan mendengarkan atau memahami perasaan orang lain.
“Seseorang dengan NPD mungkin tidak menyadari bahwa tindakan mereka melukai orang sekitar, karena mereka lebih fokus pada validasi terhadap diri sendiri. Saat tidak mendapatkan pujian yang diharapkan, mereka bisa kecewa berlebihan atau bahkan menyalahkan orang lain,” jelas dr. Lutfia.
Sulit Dideteksi, Sulit Ditangani
Berbeda dengan gangguan kejiwaan lainnya, NPD termasuk salah satu yang paling sulit untuk dikenali oleh penderita itu sendiri. Rasa percaya diri yang tinggi dan keyakinan akan keunggulan diri membuat mereka jarang merasa perlu mencari bantuan psikologis.
Rani Meilani, M.Psi., psikolog klinis dari Yayasan Peduli Jiwa, menyebut bahwa penanganan NPD membutuhkan komitmen tinggi dari pasien dan pendampingnya. “Psikoterapi jangka panjang dengan pendekatan kognitif atau psikodinamik bisa membantu pasien memahami pola pikir dan perilaku yang merusak. Namun kemauan untuk berubah adalah kunci utama,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa orang-orang yang hidup dalam lingkaran penderita NPD, baik sebagai pasangan, teman, maupun rekan kerja, juga perlu edukasi untuk menjaga batas emosional mereka dan menghindari relasi yang bersifat manipulatif.
Peran Keluarga dan Masyarakat dalam Deteksi Dini
Gangguan kepribadian sering kali berkembang dari pola asuh yang tidak seimbang di masa kecil, baik terlalu memanjakan maupun terlalu menekan. Oleh karena itu, lingkungan keluarga memegang peran penting dalam pencegahan dan deteksi dini NPD.
“Anak-anak yang tumbuh dengan pujian berlebihan tanpa dasar yang realistis atau yang terbiasa memenuhi ekspektasi keluarga secara ekstrem, berisiko mengembangkan narsisme patologis,” ujar Rani.
Sebagai bentuk upaya preventif, berbagai sekolah dan komunitas kini mulai memperkenalkan program penguatan karakter dan pendidikan emosi sejak dini. Tujuannya untuk membentuk pribadi yang lebih seimbang, empatik, dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat.
Stigma Harus Dihapus, Dukungan Harus Diperkuat
Meski gangguan kepribadian masih kerap disalahartikan di masyarakat, para ahli menyerukan pentingnya menghapus stigma dan memperkuat dukungan terhadap penderita NPD. Mereka menekankan bahwa NPD bukan sekadar “tingkah laku sombong” tetapi kondisi psikologis serius yang membutuhkan pendekatan ilmiah dan penuh empati.
“Semua orang bisa punya kecenderungan narsistik dalam kadar tertentu. Tapi saat itu mengganggu fungsi sosial dan emosi, penting untuk segera mencari bantuan,” tutup dr. Lutfia.
Dengan pemahaman yang lebih luas, masyarakat diharapkan dapat menjadi bagian dari sistem pendukung yang sehat—bukan hanya untuk penderita NPD, tapi juga bagi lingkungan yang terdampak.





