Serangan AS ke Iran Picu Ketegangan Global
Pesankata.com, Jakarta – Amerika Serikat resmi melakukan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran—Fordow, Natanz, dan Isfahan—pada 21–22 Juni 2025. Aksi ini menandai eskalasi langsung AS dalam konflik Timur Tengah, setelah sebelumnya memberi dukungan kepada Israel.
Presiden Donald Trump mengonfirmasi bahwa rudal Tomahawk dan bom penghancur bunker digunakan untuk menghancurkan instalasi nuklir Iran. Ia menyebut lokasi-lokasi tersebut telah dihancurkan secara menyeluruh sebagai langkah untuk mencegah ancaman nuklir global. Meski Iran menyatakan sudah mengevakuasi personel, IAEA belum menemukan tanda kebocoran radiasi.
Langkah ini menuai dukungan penuh dari Partai Republik. Namun di dalam negeri, banyak kritik muncul karena keputusan tersebut diambil tanpa restu Kongres. Beberapa politisi menilai Trump telah melangkahi kewenangannya dan berisiko menyeret AS ke dalam perang panjang.
Komunitas internasional pun memberi respons keras. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut serangan ini bisa memperburuk ketegangan global. Negara-negara seperti Rusia dan China mendesak dialog segera, seraya menyoroti dampak terhadap kestabilan kawasan dan pasokan energi dunia.
Iran menanggapi dengan kecaman keras. Mereka menyebut serangan itu sebagai pelanggaran hukum internasional dan mengancam akan melakukan balasan ke pangkalan militer AS di Timur Tengah. Menteri Pertahanan Iran menegaskan pihaknya tak akan tinggal diam jika serangan berlanjut.
Meski ada sebagian masyarakat yang menyambut positif penghentian program nuklir Iran, gelombang suara pro-diplomasi terus menguat. Banyak yang mendesak semua pihak untuk menahan diri dan kembali ke meja perundingan demi menghindari konflik skala luas.
Para pengamat menilai bahwa serangan ini memperlihatkan perubahan signifikan dalam pendekatan kebijakan luar negeri AS. Bukannya membuka ruang damai, tindakan militer justru berpotensi memancing respons keras dan merusak peluang negosiasi jangka panjang.
Situasi ini menciptakan titik krisis baru di Timur Tengah. Ketika senjata mulai berbicara lebih nyaring dari diplomasi, dunia menanti: apakah akan ada deeskalasi, atau justru pintu konflik terbuka makin lebar?





