Pesankata.com, Antananarivo – Krisis politik di Madagaskar mencapai puncaknya setelah Presiden Andry Rajoelina resmi dimakzulkan oleh parlemen. Dengan 130 suara mendukung dari total 163 anggota, sidang majelis rendah menyatakan Rajoelina bersalah atas tuduhan desersi tugas. Namun, tak lama setelah itu, militer elite CAPSAT menyatakan mengambil alih kekuasaan, memantik kekhawatiran internasional akan terulangnya kudeta di negara kepulauan tersebut.

Kolonel Michael Randrianirina, Kepala Unit Militer CAPSAT, mengumumkan dirinya akan dilantik sebagai presiden transisi pada Jumat (17/10) waktu setempat. Ia mengklaim pengambilalihan kekuasaan bukan kudeta, melainkan bentuk tanggung jawab karena negara berada di ambang kehancuran. “Ini bukan kudeta, ini tanggung jawab kami untuk menyelamatkan republik,” ujarnya melalui siaran televisi nasional.

Langkah cepat militer ini mendapat kecaman keras dari Kantor Kepresidenan Madagaskar. Dalam pernyataan resminya, pihak istana menegaskan bahwa Rajoelina masih menjabat sah sebagai presiden dan menyebut tindakan CAPSAT sebagai percobaan kudeta. “Kehadiran pasukan bersenjata di depan Istana Presiden merupakan tindakan kudeta yang jelas,” bunyi pernyataan tersebut.

Meski Rajoelina menolak pemakzulan itu dan menuding parlemen melanggar konstitusi, kondisi politik sudah tidak terkendali. Sejak akhir September, gelombang demonstrasi besar melanda ibu kota Antananarivo. Aksi yang dipelopori generasi muda itu menuntut perbaikan sistem, ketersediaan air, dan pasokan energi yang kian langka. Bentrokan antara massa dan aparat menewaskan sedikitnya 22 orang.

Randrianirina berjanji akan menyelenggarakan pemilu dalam waktu 18 hingga 24 bulan ke depan. Ia juga mengumumkan rencana pembentukan pemerintahan baru dan menunjuk perdana menteri sementara. “Transisi menuju kepemimpinan sipil akan berlangsung kurang dari dua tahun,” katanya. Militer menamai pemerintahan sementara itu sebagai Dewan Kepresidenan untuk Reformasi Republik Madagaskar.

Krisis ini memperburuk citra politik Madagaskar yang sebelumnya sudah rapuh. Rajoelina sendiri naik ke tampuk kekuasaan lewat kudeta militer pada 2009 dan kembali terpilih lewat pemilu kontroversial pada 2023. Dalam beberapa bulan terakhir, ia dikabarkan jarang muncul di publik, bahkan disebut sempat meninggalkan negara ketika demonstrasi memuncak.

Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menyoroti situasi ini sebagai pengambilalihan kekuasaan yang inkonstitusional. Madagaskar kini menambah daftar panjang negara-negara Afrika bekas koloni Prancis yang dikuasai militer sejak 2020, seperti Mali, Burkina Faso, Niger, dan Gabon.

Situasi di Antananarivo pada Kamis (16/10) terpantau relatif tenang meski ketegangan masih terasa. Warga menunggu langkah lanjutan Randrianirina, sementara dunia internasional menekan agar transisi kekuasaan berlangsung damai dan konstitusional. Pertanyaan besar kini menggantung: apakah Madagaskar siap kembali ke jalur demokrasi atau justru mengulang siklus kudeta yang sama.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan