Ekspor RI Terancam Tarif 32 Persen AS
Pesankata.com, Jakarta – Presiden AS Donald Trump kembali menegaskan arah proteksionisnya dengan menetapkan tarif balasan tinggi bagi negara-negara mitra dagang. Mulai 1 Agustus 2025, Indonesia akan dikenai tarif dasar sebesar 32% atas seluruh produk ekspor yang masuk ke pasar AS, kecuali jika kesepakatan baru berhasil dicapai dalam waktu dekat.
Kebijakan ini merupakan lanjutan dari proklamasi tarif 10% pada April lalu. Setelah sempat ditunda, kini Trump menaikkan tekanannya dengan tarif yang lebih tinggi. Negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia menjadi target utama kebijakan ini, dengan besaran tarif antara 25% hingga 40%.
Sejumlah sektor unggulan Indonesia langsung terdampak. Mulai dari ekspor kelapa sawit (CPO), tekstil, furnitur, hingga elektronik. Bahkan industri manufaktur yang terindikasi menggunakan pola transshipment dari China juga masuk dalam pantauan tarif AS.
Pemerintah Indonesia merespons cepat. Ketua Tim Negosiasi, Airlangga Hartarto, memimpin delegasi ke Washington guna mencari jalan tengah. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pembelian ekspor AS senilai US$34 miliar, termasuk pesawat, gandum, dan energi—diharapkan mampu meredam eskalasi tarif.
Upaya negosiasi juga mencakup usulan penurunan tarif impor barang dari AS. Namun, hingga awal Juli, belum ada perkembangan signifikan. Jika tidak ada hasil konkret, tarif 32% akan diberlakukan penuh pada awal Agustus.
Tak hanya Indonesia, negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Malaysia, dan Kamboja juga mengalami tekanan serupa. Mereka kini mulai menjalin komunikasi bilateral dengan AS guna menghindari pengenaan tarif yang bisa mengganggu stabilitas perdagangan nasional.
Ekonom memperkirakan bahwa kebijakan ini berisiko menimbulkan tekanan besar pada rantai pasok Indonesia, memperlemah daya saing ekspor, dan menambah beban biaya produksi di dalam negeri. Hal ini bisa berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dengan waktu yang semakin sempit, Indonesia diharapkan bisa memanfaatkan momentum diplomatik sebaik mungkin. Strategi perdagangan yang adaptif, diversifikasi ekspor, dan penguatan industri domestik menjadi kunci menghadapi tekanan tarif global yang makin agresif.





